Skip to content

Sosok dan Pemikiran: Impian Rumah Bersama

Kompas, 2 Februari 2010 (5)-Impian Rumah Bersama-page-001KOMPAS – Selasa, 02 Feb 2010

Indonesia adalah negara yang penuh keunikan. Jika negara lain umumnya terbentuk berdasarkan kesamaan tertentu, Indonesia justru dibangun di atas keberagaman yang dimilikinya, baik suku, bangsa, bahasa, maupun agama.

Meski demikian, bagi Raja Juli Antoni, mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute, setiap unsur pembentuk keberagaman atau pluralisme yang membangun Indonesia itu belum mendapatkan tempat yang sama. Indonesia belum menjadi rumah bersama yang memberikan keadilan bagi semua, tanpa memandang mayoritas ataupun minoritas.

Berikut petikan percakapan Kompas dengan salah satu tokoh muda Muhammadiyah itu di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bagaimana kondisi pluralisme Indonesia saat ini di tengah proses demokratisasi?

Pluralisme adalah bagian penting dari demokrasi. Indonesia seharusnya menjadi rumah bersama, tidak hanya bagi kelompok mayoritas, tetapi juga kelompok minoritas, yang akan merasa nyaman untuk tinggal di rumah kebangsaan. Namun, kenyataannya, masih banyak orang yang merasa tidak nyaman tinggal di sana.

Secara prosedural, Indonesia bisa mengklaim sebagai negara demokratis. Sebab, ada pemilu yang dilakukan secara reguler, kebebasan sipil, serta kebebasan membentuk partai politik. Namun, salah satu kunci penting apakah suatu negara telah demokratis secara substansial dapat dilihat dari respons negara terhadap kebutuhan masyarakatnya.

Jika dilihat dari kacamata responsivitas negara itu, Indonesia belum menjadi negara yang demokratis penuh. Buktinya, kita masih punya catatan buruk, terutama terkait dengan isu pluralisme.

Contoh konkretnya seperti apa dan bagaimana reaksi negara?

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, puluhan peraturan daerah (perda) berbasis syariah diterbitkan di berbagai provinsi. Selain itu, masih ada kelompok-kelompok minoritas yang dieksekusi atas nama agama tertentu yang kemudian dilegalisasi oleh pemerintah, seperti dalam kasus kelompok Ahmadiyah.

Sayangnya, Presiden tidak bersikap apa-apa terkait perda-perda bermasalah itu, apakah benar ataukah salah dalam kerangka negara. Negara juga tidak membuat tindakan tegas atas perusakan sejumlah aset milik warga Ahmadiyah.

Seharusnya Presiden Yudhoyono bisa berdiri tegak dan mengatakan dengan lantang, “Sebagai seorang Muslim, saya diajarkan bahwa teologi Ahmadiyah tidak sesuai dengan arus utama ajaran agama. Tetapi sebagai seorang pemimpin negara, saya akan melindungi warga Ahmadiyah. Tidak ada seorang pun yang boleh memberangus kepercayaan, melakukan kekerasan, dan merusak properti milik warga negara lainnya hanya gara- gara berbeda keyakinan.”

Selanjutnya, apabila organisasi keagamaan utama menolak keberadaan kelompok Ahmadiyah karena dianggap tidak benar, Presiden seharusnya meminta mereka untuk melakukan dakwah yang melindungi, bukan melakukan kekerasan. Organisasi keagamaan harus melindungi warganya agar tidak sampai terpengaruh oleh ajaran Ahmadiyah. Sebaliknya, warga Ahmadiyah itu diajak untuk kembali kepada ajaran agama yang utama. Dakwah itulah yang seharusnya dilakukan, bukan dengan kekerasan.

Apa itu berarti pemerintah belum memberikan jaminan perlindungan bagi semua?

Itu faktanya, pemerintah belum memberikan jaminan kepada semua warga negara. Ketidaktegasan negara telah membuat warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat terusir menjadi pengungsi di negaranya sendiri serta tercerabut hak-hak sosial dan ekonominya hanya gara-gara keyakinannya berbeda.

Negara tidak berhak melarang seorang warga negara untuk tinggal ataupun bekerja di suatu wilayah tertentu. Justru negaralah yang seharusnya mengawal, melindungi, dan menjamin pemenuhan atas hak setiap warga negara.

Apa saja jaminan perlindungan yang seharusnya diberikan pemerintah?

Saya sering membayangkan, almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid) itu seperti pohon besar tempat banyak orang berteduh, termasuk kelompok- kelompok minoritas. Namun, pohon besar itu kan pasti ada lapuknya dan suatu saat akan tumbang.

Karena itu, mestinya bangsa Indonesia mulai berpikir untuk tidak lagi berteduh di bawah pohon besar yang nyaman, seperti Gus Dur. Bangsa ini harus mulai membangun rumah kokoh antigempa yang melindungi semua isinya. Rumah itu adalah hukum yang tidak bergantung pada personal.

Hanya tegaknya hukum yang bisa menjaga pluralisme. Negara perlu memberikan jaminan bahwa tidak ada undang-undang atau peraturan yang masih diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Negara harus memastikan tidak ada aturan hukum yang bersifat karet hingga bebas diinterpretasikan oleh siapa saja sesuai kepentingannya, terlebih lagi jika diinterpretasikan dengan pemahaman yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Apa negara sudah memberikan jaminan perlindungan itu?

Penegakan hukum merupakan hal terpenting agar keadilan itu bisa terus diberikan. Pemerintah harus berani melawan arus utama wacana dan pemikiran publik jika memang wacana dan pemikiran utama itu salah dan justru merusak sistem hukum.

Pemerintah tidak boleh menegakkan hukum hanya untuk mendapatkan pesona dari kelompok mayoritas, tetapi benar-benar menegakkan hukumyang ada. Keberanian untuk menegakkan hukum itu penting karena kita punya banyak hukum, tetapi sering kali diabaikan.

Bagaimana masyarakat sendiri memandang keberagaman itu?

Pada zaman Orde Baru, Indonesia pernah dipuji sebagai model negara toleran. Namun, toleransi yang terjadi saat itu dikritik banyak pihak karena bersifat negatif. Konflik antarmasyarakat akibat perbedaan keyakinan memang tidak muncul. Tetapi, hal itu bukan karena mereka tidak mau berkonflik. Konflik tidak muncul karena ada seperangkat sistem yang menyebabkan perbedaan itu tidak boleh terjadi.

Pada era demokrasi, proses toleransi itu harus diarahkan kepada hal-hal yang mengarah kepada toleransi yang positif. Perbedaan boleh ada, tetapi pada saat bersamaan kita harus mengelola perbedaan itu agar tidak menimbulkan konflik.

Perdamaian itu artinya bukan hanya karena tidak adanya perang, tetapi perdamaian juga harus dimaknai dengan adanya keadilan dan tanggung jawab yang dijamin oleh negara dan diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil. Selain pemerintah, masyarakat juga harus dewasa, termasuk umat Islam sebagai kelompok mayoritas.

Bagaimana cara mendewasakan umat (Islam) agar bisa menghargai perbedaan yang ada?

Kekuatan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan moderat harus tetap dipupuk. Sepanjang sejarahnya, kedua organisasi ini telah menunjukkan kemampuan diri untuk memberikan pesan damai kepada umatnya.

Masyarakat Indonesia yang memiliki ciri sebagai masyarakat tengah sedang mencari bentuk bagaimana hidup di antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan serta tetap memiliki spirit Islam dengan mengakomodasi nilai-nilai Barat.

Di sinilah peran NU dan Muhammadiyah sangat besar dalam mengarahkan umatnya agar bisa menjadi umat Islam yang taat, sekaligus warga negara Indonesia yang baik.

Raja Juli Antoni
* Lahir: Pekanbaru, 13 Juli 1977
* Pendidikan: – Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut, 1995 – S-1, Jurusan Tafsir dan Hadist, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2001 – S-2, Department of Peace Studies, University of Bradford, Inggris, 2004 – S-3, School of Political Science and International Studies, University of Queensland, Australia
* Pengalaman Kerja dan Organisasi: – Ketua Umum PP Ikatan Remaja/ Pelajar Muhammadiyah
(IRM/IPM), 2000-2002 – Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity, 2005-2009 – Sekretaris Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri PP Muhammadiyah, 2005-2010
* Publikasi: – Deklarasi Phnom Penn 2008: Merajut Kebersamaan di Asia Pasific, Journal Maarif, 2008 – Religious Peacebuilding: Melacak Peran Agama-agama dalam Menegakkan Perdamaian, Journal Al-Wathiyyah, No 14 Vol 3, 2008 – Dialog Agama Multi-level: Pengantar untuk A Common Word (terjemahan), Australia: Halal Book Australia, 2008.

Penulis: Yossihara, Anita; Wahyudi, M Zaid

Bagikan!